Minggu, 06 Januari 2013

Makalah filsafat islam

 BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara spontan, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
Sedangkan yang dinamakan Filsafat Islam muncul sebagai imbas dari gerakan penerjemahan besar-besaran dari buku-buku peradapan Yunani dan peradaban-peradaban lainnya pada masa kejayaan Daulah Abbasiah, dimana pemerintahan yang berkuasa waktu itu memberikan sokongan penuh terhadap gerakan penerjemahan ini, sehingga para ulama bersemangat untuk melakukan penerjemahan dari berbagai macam keilmuan yang dimiliki peradaban Yunani kedalam bahasa Arab, dan prestasi yang paling gemilang dari gerakan ini adalah ketika para ulama berhasil menerjemahkan ilmu filsafat yang mejadi maskot dari peradaban Yunani waktu itu, baik filsafat Plato, Aristoteles, maupun yang lainnya. Dan dari sanalah muncul para Filusuf yang dominan dari semua itu adalah muslim. Dari sanalah sejarah singkat mengapa dinamakam Filsafat Islam.
B. RUMUSAN MASALAH
Secara umum rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah berkaitan dengan Sejarah Singkat Filsafat Islam, Prinsip-Prinsip Paripatetisme Islam (Masysya’iyyah) dan tentang Akal dan Pembagian-Pembagiannya. Adapun rumusan masalah ini dapat diuraikan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana sejarah singkat berdirinya Filsafat Islam ?
2. Bagaimana prinsip-prinsip paripatetisme Islam (Masysya’iyyah) ?
3. Apa yang disebut dengan akal dan bagaimana pembagian-pembagiannya ?
C. TUJUAN
Secara khusus makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Fulsafat Islam. Tetapi secara umum sama dengan adanya rumusan masalah yang telah dipaparkan tadi, dengan membaca makalah ini kita dapat mengetahui :
1. Bagaimana sejarah singkat berdirinya Filsafat Islam ?
2. Bagaimana prinsip-prinsip paripatetisme Islam (Masysya’iyyah) ?
3. Apa yang disebut dengan akal dan bagaimana pembagian-pembagiannya ?
D. MANFAAT
Manfaat dari makalah ini menambah wawasan ilmu pengetahuan kita yang berkaitan dengan Sejarah Singkat Filsafat Islam, Prinsip-Prinsip Paripatetisme Islam (Masysya’iyyah) dan tentang Akal dan Pembagian-Pembagiannya. Dengan pembahasan ini juga, diharapkan kita bisa memanfaatkan ilmu yang kita dapatkan kepada orang-orang di sekitar kita, karena sejarah merupakan suatu pegangan untuk membuat hidup menjadi lebih baik di dunia yang sudah disebut sebagai zaman Modernisasi[1] ini. Dan selain itu, dengan membaca makalah ini, kita dapat melatih bahasa dan pemikiran kita mengenai Filsafat Islam, demi memperbaiki kualitas diri kita dan nilai kita sebagai manusia.

BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH SINGKAT FILSAFAT ISLAM
Meski pada umumnya Filsafat Islam dipercayai sebagai berawal dari Al-Kindi (801-873), tetapi ada catatan bahwa orang Islam pertama yang disebut sebagai filosof adalah Iransyahri. Pemilihan Al-Kindi sebagai filosof pertama dalam sejarah Islam tentu terkait dengan kenyataan bahwa Al-Kindilah orang pertama yang berusaha merumuskan secara sistematis apa itu Filsafat Islam. Pemikiran Al-Kindi sebenarnya masih dekat dengan teologi Islam (‘ilm al-kalam) yang sudah lebih berkembang dalam dunia pemikiran Islam. Dia memang dikenal sebagai seorang Mu’tazili (pengikut mazhab rasionalistik dalam teologi Islam). Karena posisinya sebagai filosof pertama Islam, dan juga minatnya pada teologi Islam. Al-Kindi merasa perlu untuk menulis buku The First Phulosophy (Al-Falasafah Al-Ula) sebagai semacam pembahasan tentang posisi Filsafat dalam keseluruhan pemikiran Islam. Dalam buku ini Al-Kindi menunjukan bahwa sesungguhnya concern Filsafat Pertama atau metafisika sama dengan teologi, yakni tentang Tuhan. Selain itu, Al-Kindi juga menulis sebuah buku lain, Al-Kasyf ‘an Al-Manahij Al-adillah, yaitu semacam uraian tentang metodologi dalam berfilsafat. Meski telah menyimpan banyak benih pembahasan yang belakangan dilakukan oleh filosof-filosof Islam yang mengikutinya, Filsafat Islam (Masysya’I atau Paripatetik) baru benar-benar berkembang pada diri Al-Farabi dan Ibnu Sina (980-1037). Pada keduanya khususnya pada Ibnu Sina sering disebut sebagai Filosof Paripatetik Muslim par excellence, yang mana berbagai masalah Filsafat Yunani mendapat kesempatan untuk dikembangkan lebih jauh dalam lingkungan pemikiran Islam. Bukan saja masalah-masalah lama yang mendapat perkembangan baru, namun masalah-masalah baru yang tidak pernah (secara khusus) dibahas dalam Filsafat pra Islam diperkenalkan oleh keduanya. Misalnya Filsafat Kenabian atau pembagian wujud menjadi yang mumkin sampai yang wajibul wujud diterangkan oleh Ibnu sina.
Setelah Al-Farabi dan Ibnu Sina, kita kenal beberapa Filosof Muslim besar lainnya yang berasal dari Andalusia. Seperti Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail, dan tentu saja Ibnu Rusyd. Namun, jika Ibnu Bajjah dan Ibnu Thufail sedikit banyak mengembangkan Filsafat para filosof sebelumnya. Maka Ibnu Rusyd tentu banyak mengkritik paripatetisme Islam yang berkembang sebelumnya sebagai didistorsi oleh Neo-Platonisme yang sedikit banyak bersifat Iluministik. Ibnu Rusyd pun menjadikan pemurnian Aristotelianisme dan Neo-Platonisme sebagai salah satu tujuannya dalam berfilsafat.
Selain itu Ibnu Rusyd juga terkenal dengan kritik baliknya dalam bukunya yang berjudul Tahafut Al-Tahafut atas kritik Al-Gazali yang yang mencerca habis-habisan Filsafat Ibnu Sina dalam bukunya yang berjudul Tahafut Al-Falasafah. Menurut Ibnu Rusyd, yang di kritik Al-Gazalu bukanlah Filsafat itu sendiri. Melainkan Filsafat yang sudah terpengaruh oleh Neo-Platonisme. Kritik pada Ibnu Sina tidak saja sampai di situ. Belakangan Fakhruddin Al-Razi, seorang teolog penulis Kitab Tafsir juga melakukan hal yang sama seperti Al-Gazali.
Tidak hanya kritikan yang datang pada Ibnu Sina, tetapi dukungan yang diberikan oleh Al-din Al-Tuhsi, yang berupaya membela pemikiran Ibnu Sina dari kritik-kritik teologis Al-Razi, yang dikombinasikan dengan minatnya terhadap tasawuf. Namun mata rantai yang penting dari bergabungnya Filsafat dengan tasawuf adalah Al-Din Al-Qunawi. Yang merupakan murid dari Al-Din Al-Tuhsi. Pada diri Qunawi lah untuk pertama kalinya filsafat dan tasawuf bertemu. Warisan Al-Qunawi, ditambah dengan tradisi iluminisme Islam yang dikembangkan oleh Syihab Al-Din Suhrawardi (antara lain melalui Quthb Al-Din Al-Syirazi), kelak menjadi dasar yang kuat untuk berkembangnya aliran Al-Hikmah Al-Muta’aliyah yang ditokohi oleh Mulla Shadra. Jadilah dalam Mulla Shadra bergabung tradisi paripatetik, ‘irfan, dan iluminisme, sekaligus teologi dan tradisi Islam.
Demikianlah, sampai sekarang Filosafat Hikmah terus berkembang. Perkembangan Filsafat Hikmah ini tidak dengan sendirinya menyisikan tradisi Paripatetik Islam. Bahkan di Persia, di mana Filsafat Islam berkembang pesat, kita mesih dengan mudah mendapati aliran ini berkembang dengan baik, sampai sekarang.
B. PRINSIP-PRINSIP PARIPATETISME ISLAM (MASYSYA’IYYAH)
Salah satu ciri utama Paripatetisme adalah epistimologinya yang berlandaskan pada metode logis Aristotelian, yang bersifat diskursif demonstrasional. Ciri lain Aristotelianisem adalah hylomorfisme. Menurut frinsip ini, segala sesuatu terbentuk sebagai komposit antara materi dan forma. Forma adalah aktualitas dari materi. Jadi pada dasarnya, hylomorfisme bersifat sepenuhnya material. Karena menurut Aristoteles, segala sesuatu yang ada ini sepenuhnya bersifat material. Dan jelas, ini tak sama dengan forma ideal Platonik. Yang disebut terkhir adalah semacam idea atau gagasan yang sepenuhnya bersifat immaterial yang menjadi model, yang dengannya segala sesuatu di dunia ini terbentuk. Gagasan tentang forma ideal Platonik ini lebih terasa perannya dalam iluminisme dan filsafat-filsafat iluministik lainnya.
Meski filsafat Islam sejak Al-Kindi kemudian Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Thufail, dan Ibnu Bajjah hingga Ibnu Rusyd sisebut sebagai berfilsafat paripatetik, pada kenyataanya banyak dipengaruhi Neo Platonisme kecuali Ibnu Rusyd yang memang memiliki misi untuk membersihkan Aristotelianisme dan Neo Platonisme. Neo Platonisme adalah aliran yang pertama dikembangkan oleh Plotinus. Pengaruh ini secara langsung, bersumber pada sebuah ringkasan dari 3 Bab Ennead karya Plotinus, yang disalahfahami karya Aristoteles. Di dunia Islam karya ini memang dikenal sebagai Atsulujia Aristuthalis. Meski demikian, tak dapat dikatakan bahwa jika para Filosof Muslim tak menemukan atau menyalahpahami karya Plotinus sebagai Karya Aristoteles. Maka Filsafat Islam tak akan bersifat Neo Platonisme. Dan sebagai gantinya, bersifat sepenuhnya Aristotelian. Dengan satu dan cara lain, tampaknya Platonisme yang lebih membuka ruang bagi yang spiritual dan yang religius, cepat atau lambat akan memberikan pengaruhnya pada Filsafat Islam, yang tentu saja lebih memiliki afinitas kepada pemikiran yang lebih bersifat religius juga. Memang, kenyataanya berbeda dengan Aristotelianisme murni, pembahasan dari aliran ini sesungguhnya tak jauh dari Iluminisme. Bahkan, untuk pertama kalinya Plotinus mengembangkan konsep tentang Tuhan (The One), sebagai dampak dalam paham emanasi, yang kurang lebih selengkapnya akan dibahas di bawah ini.
Emanasi sebagai basis Kosmologi
Awalnya adalah Tuhan yang tunggal, tak ada sesuatu selain-Nya. Lalu, terjadilah emanasi (al-faidh) Ilahi, yang darinya bermulalah proses penciptaan alam semesta (ibda’). Alam semesta yang tercipta sebagai hasil proses emanasi ini tersusun dalam hierarki-hierarki. Mulai dari Allah yang tertinggi, bahkan melampaui batas apa pun, melewati wujud-wujud imaterial murni di bawahnya, hingga wujud paling rendah dari bagian materi alam semesta.
Menurut teori emanasi ini, Wujud Allah sebagai suatu Wujud Intelegensia (Akal) mutlak yang berfikir, yakni berfikir tentang dirinya, sebelum adanya wujud-wujud yang selain-Nya. Di sini secara otomatis menghasilkan Akal Pertama, yaitu menurut hadist qudsi Allah SWT berfirman : “Yang pertama kali Aku ciptakan adalah al-‘aql, Sang Akal (Akal Pertama)”.
Pada gilirannya, Sang Akal sebagai akal berfikir tentang Allah dan sebagai hasilnya terpancarlah akal kedua. Proses ini berjalan terus hingga bertutut-turut terciptalah akal ketiga, akal keempat, dan seterusnya sampai akal kesepuluh. Akal kesepuluh ini adalah akal yang terakhir dan terendah dalam tingkatan-tingkatan wujud di alam material.
Pertanyaannya, mengapa proses emanasi berakhir sampai akal kesepuluh? Jawabannya jauh dari rumit, hal ini hanya terkait dengan perkembangan astronomi pada era filosof Muslim yang pada masa itu diwarnai oleh Ptolemeus. Dalam astronomi Ptolemeus planet-planet dipercayai berjumlah sepuluh. Untuk menghasikan sepuluh planet itulah, akalpun dibatasi sampai jumlah sepuluh. Dan tentu pandangan seperti ini sekarang sudah usang.
Kembali pada penciptaa planet-planet, yang perlu diperhatikan adalah bahwa berbeda dengan planet-planet lain, planet bumi tak lagi bersifat imaterial murni, tapi telah merupakan campuran antara yang imaterial dengan yang material. Dengan kata lain, semua wujud di bumi merupakan gabungan antara materi dan imateri. Pada dasarnya, seluruh ciptaan termasuk apa yang kita anggap selama ini benda mati merupakan gabungan dari materi dan ruh seperti disinggung di atas. Di dunia ini tak ada materi mutlak ataupun akal (ruh) yang mutlak. Untuk benda mati, forma (shirah) itulah akal atau ruhnya.
Dalam filsafat Islam maujud komposit yang biasa disebut sebagai jiwa mineral adalah yang unsur materinya relatif paling dominan, Dari sini kita mendapati berturut-turut jiwa tumbuhan, jiwa hewan, dan jiwa manusia yang berfikir.
Tingkat-Tingkat Jiwa Manusia
Jiwa Manusia yang Berfikir (Al-nafs al-natiqah)


   

Jiwa Hewan (Al-nafs al-hayawaniyyah)


   

Jiwa Tumbuhan (Al-nafs al-nabatiyyah)


   

Jiwa Mineral (Al-nafs al-aqdiyyah)
Jiwa yang di atas merupakan pengembangan, sebutlah evolisi. Yang meliputi jiwa tumbuhan dan jiwa hewan. Setiap bagian jiwa ini menyambung pada aspek vegetatif manusia, sementara jiwa hewan menyambungkan aspek emosi (syahwat) padanya.
C. AKAL DAN PEMBAGIAN-PEMBAGIANNYA
Akal merupakan sumber pengetahuan dan sekaligus juga sebagai alat pengetahuan. Akallah yang sebenarnya menjadi alat pengetahuan sedangkan indra hanya pembantu saja. Manusia adalah hewan yang memiliki akal yang berfikir (al-hayawan al-nathiq). Lalu, bagaimana struktur, tingkatan-tingkatan, dan fungsi unsur-unsur jiwa berfikir (al-nafs al-nathikah) manusia.
Tingkatan terendah akal manusia adalah Akal Potensial (al-‘Aql bil Al-Malakah). Setelah mendapatkan stimulasi dari persepsi indrawi, yang kemudian diolah di bagian-bagian akal yang lebih rendah, Akal Personal menjadi Akal Aktual. Dengan demikian, si subjek berfikir menjadi sadar tentang pengetahuan tertentu. Akan tetapi, jika dalam Akal Potensial, pengetahuan tersebut masih terdapat dalam keterikatannya dengan persepsi indrawi, pada tingkat Akal Aktual, pengetahuan tersebut telah dilepaskan darinya dan dengan demikian manjadi forma (sepenuhnya).
Ketika Akal manusia telah mencapai tingkat capaian (mustafad) dan bersifat sepenuhnya formal (berasal dari kata forma), terbukalah peluang untuk berhubungan secara teknis yang disebut sebagai kontak (itishal) dengan Akal Aktif yang juga sepenuhnya bersifat Formal. Pada saat inilah pencerahan akal manusia oleh akal kesepuluh mengaktualisasikan ilmu pengetahuan. Dengan demikian manusia menjadi tahu atau tercerahkan tentang hal-al yang belum dikatehuinya pada tingkat-tingkat akalnya yang lebih rendah.
Itulah pandangan Al-Farabi. Namun, dalam Ibnu Sina, masih ada tingkatan yang lebih tinggi, yang disebut dengan akal suci (al-‘aqal al-qudsi). Akal suci adalah tingkatan akal yang hanya bisa dicapai oleh orang-orang yang tingkatan intelektual yang paling tinggi. Jika pengetahuan yang diperoleh lewat kontak akal capaian dengan Akal Kesepuluh lebih bersifat filosofis, sementara yang berbasis Akal suci mengambil bentuk Ilham atau Wahyu.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
- Filsafat Islam muncul pada awalnya adalah diorong oleh sebuah cita-cita terciptanya keterpaduan antara akal dan wahyu, rasio dan hati, agama dan logika. Geliat pemikiran yang semacam ini muncul tatakala Islam mulai bersentuhan dengan tradisi filsafat Yunani klasik yang berkembang di abad pertengahan. Tokoh filsof Islam pertama kali yang berusaha untuk menyelaraskan atau mempertemukan antara akal dan wahyu adalah Al-Kindi (801-873). Di adalah tokoh yang pertama kali merumuskan secara sistematis apa itu filsafat Islam. Meskipun ada keterangan bahwa bukan Al-Kindi lah yang menjadi filosof Islam pertama.
- Salah satu ciri utama Paripatetisme adalah epistimologinya yang berlandaskan pada metode logis Aristotelian, yang bersifat diskursif demonstrasional. Ciri lain Aristotelianisem adalah hylomorfisme. Menurut frinsip ini, segala sesuatu terbentuk sebagai komposit antara materi dan forma.
- Manusia adalah hewan yang berfikir (al-hayawan al-nathiq). Yang memiliki Akal Personal yang artinya hanya menafsirkan apa yang dilihatnya, berbeda dengan Akal Suci yang hanya dimiliki oleh orang yang berintelektual tinggi, Seperti Rasululloh SAW.
B. SARAN
Sebagai umat Muslim tidah ada salahnya apabila kita mempelajari, memahami Filsafat, apalagi Filsafat Islam. Supaya referensi kita terhadap hidup ini makin banyak dan sekaligus akan melatih pola pikir kita.
Demikian makalah ini kami susun dengan segala kemampuan dan keterbatasan kami. Maka dari itu, kritik dan saran selalu kami tunggu demi perbaikan. Dan semoga makalah ini mudah difahami dan bermanfaat di masa yang akan datang. Amin

DAFTAR PUSTAKA
http://www.wordpers.com
Bagir, Haidar. Buku Saku Filsafat Islam.

[1] Menurut Widjojo Nitisastro, modernisasi adalah suatu transformasi total dari kehidupan bersama yang tradisional atau pramodern dalam arti teknologi serta organisasi sosial, ke arah pola-pola ekonomis dan politis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar