Minggu, 04 November 2012

Antara Intelegensi dan Adab

“Eh…jeng, saya bangga deh anak saya bentar lagi jadi dokter,
minggu depan mau wisuda hebat ya anak saya..?!”
“Oh gitu jeng….ya lebih hebat anak saya dong jeng, anak saya tuh dapet beasiswa dari pemerintah buat ngelanjutin S2 di luar negri supaya jadi ekonom hebat …!”
Kontras….disamping ibu-ibu bawel yang lagi ngebanggain anak-anak nya, ada seorang ibu yang Cuma mesem-mesem doank. Ibu itu di tanya oleh salah satu dari ketiga ibu yang lagi unjuk kebanggaan .
“anak jeng gimana? dari tadi ko diem terus cerita dong!”
“ah…..anak saya mah bu Cuma tamatan madrasah Aliyah, ga dilanjutin kuliah, jadi muadzin mushola aja saya mah udah seneng bu..” jawabnya agak minder lalu dibalas senyum sinis terkesan ngejek dari si jeng-jeng yang nge-jengkelin itu.

Penggalan cerita diatas menggambarkan seperti apa persepsi yang berbeda-beda dari sebagian masyarakat terhadap pendidikan dan hasilnya, dan bagaimana interpretasi sebuah kata ‘hebat’ dan kesuksesan dalam pendidikan yang berbeda-beda pula di kalangan penduduk negara berkembang ini. Apa kita tertarik pada konsep sukses pendidikan seperti ibu yang mempunyai anak yang bisa adzan dan mampu memakmurkan mushola? atau kita lebih tertarik pada konsep keberhasilan pendidikan seperti ibu yang anaknya mendapat penghargaan dan jaminan dari pemerintah?. Entahlah….. mari kita mengaca diri.
Bak seorang anak yang sedang belajar naik sepeda, naik jatuh lalu mencoba naik kemudian kembali terjatuh lagi. Dunia pendidikan di nusantara ini pun mengalami pasang-surut dalam perjalanannya. Dari mulai penyesuaian metode Hindu-Budha ke pendidikan masa Islam, dari perjuangan melalui tekanan, jajahan dan pen-diskriminasi-an pendidikan di masa kolonial yang pada masanya banyak melahirkan tokoh-tokoh pendidikan nasional seperi; Ki Hajar Dewantara, M. Natsir, HAMKA, Sultan Takdir Alisyahbana, Budi Utomo dan sederet pilar pendidikan Indonesia lainnya. Juga dari zaman kemerdekaan hingga era reformasi yang menyisakan hitam-putih pendidikan Indonesia.
Tidak salah bila bangsa ini memberikan apresiasi positif berupa penghargaan semacam bantuan beasiswa atau jaminan lainnya, yang pemerintah berikan kepada anak bangsa berprestasi supaya lebih berhasil, yang di harapkan dapat menambal lubang-lubang perjuangan pendahulu mereka dalam memperbaiki pendidikan masyarakat tanah air sehingga mengharapkan peningkatan signifikan dan mewujudkan masyarakat madani yang berintelektual. Seperti saat ini saja, pendidikan dasar pun sudah dapat dirasakan dan diterima semua lapisan masyarakat tanpa membedakan status social-ekonomi walaupun masih banyak juga anak-anak yang berkeliaran menyambung hidup disaat jam-jam belajar berlangsung. Namun yang menjadi pertanyaan besar, apa dengan penghargaan, beasiswa, serta layanan pendidikan lainnya yang diatur oleh kebijakan-kebijakan pemerintah saat ini dapat menjamin pendidikan emosi/moral anak bangsa akan terjaga dan sesukses pendidikan intelektualitasnya..??
Disinilah urgennya peran Adab, disamping diterapkannya kecerdasan intelektual masyarakat terutama anak bangsa, adab juga harus menjadi good habbit masyarakat Indonesia. Kecerdasan intelektual saja belum cukup untuk membekali anak negri dalam mengarungi zaman, menjaga martabat bangsa dan mencapai kesuksesan hidup. Karena intelegensi/IQ bukanlah satu-satunya potensi yang berperan dalam menentukan kesuksesan hidup seseorang sebab selebihnya akan dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti EQ & SQ yang kemudian dipadukan menjadi ESQ. Daniel Goleman menyebutkan bahwa kontribusi IQ terhadap keberhasilan hidup seseorang hanyalah berkisar 20% sementara 80% lainnya ditentukan oleh yang dinamakan EQ. Karena emosional adalah bagian dari adab, dan adab adalah kecerdasan emosional yang ditempa dengan kecerdasan spiritual.
Parlindungan Marpaung penulis buku best seller “Setengah Isi Setengah Kosong”, diakhir penutup pada bukunya “Fulfilling Life” ia menulis sebuah do’a yang indah untuk anaknya; “Tuhan..berilah hamba seorang putra yang sadar bahwa mengenal Engkau dan mengenal diri sendiri adalah landasan segala ilmu pengetahuan..”. Indah bukan? Itulah perpaduan Emotional Quotient dan Spiritual Quotient yang dipinta Marpaung untuk mendidik anaknya. Itulah Adab.
Kata ‘al-Adabu’ pada masa kejayaan Islam digunakan dalam arti umum, yaitu semua ilmu pengetahuan (Az-Zubaidi I:144). Menurut Ma’luf selain digunakan untuk semua jenis ilmu pengetahuan juga untuk ilmu yang khusus berkaitan dengan keindahan atau sastra. Disini menunjukkan adanya perubahan makna dari umum menjadi khusus. Kata ‘al-Adabu’ dalam bahasa Arab bermakna ‘husnul akhlaaq wa fi’lul makaarim’ yakni budi pekerti yang baik dan perilaku yang terpuji. Kemudian kata itu berarti pula ‘adh-Dhorfu’ yaitu sopan santun, dan ‘riyaadlotun nafsi wa mahaasinul akhlaaq’ yang berarti melatih/mendidik jiwa dan memperbaiki akhlak. Kata-kata ini menunjukkan kepada makna akhlak yang baik.
Pendidikan moral atau yang dikenal dengan adab harus lebih dini diberikan kepada seorang anak sebelum diberikannya pengajaran ilmu pengetahuan lain. Karena adab adalah pondasi kuat semua ilmu pengetahuan dan kebijaksanaaan. Hal ini menunjukkan pada proses ta’dib terjadi sebelum ta’lim, makna ini sejalan dengan hadits Nabi s.a.w dari Anas r.a riwayat Ibnu Hibban (lihat juga Fathul Baari Syarah Shohih Bukhori jilid I hal 190). Hal ini juga diperkuat oleh pendapat M. Nashih Ulwan yang intinya menjelaskan, anak usia 7-14 tahun adalah fase yang yang wajib dipupuk pendidikan adab, lalu usia 14-16 lebih di beri pengajaran-pengajaran lain. Hal ini tidak berarti ilmu pengetahuan tidak boleh/tidak penting di berikan sejak kecil namun pendidikan adab mendapat prioritas utama, sehingga setelah berilmu tidak hanya pintar tetapi cerdas dan beradab.
Seperti kalimat dari do’a seorang Marpaung diatas, kalimat ‘mengenal Tuhan’ dengan ‘mengenal diri sendiri’ disebut sebelum kata ‘ilmu’ dan kontekstualnya dijadikan landasan ilmu pengetahuan. Juga seperti sebuah cerita dalam bahasa arab yang mengisahkan Pangeran Inggris saat kecil yang malas belajar dan mempunyai kesombongan terhadap gurunya bahwa ia akan menjadi seorang raja. Ayahnya, Raja Inggris menegur “..kaifa takuunu maalikan idza lam tataadzdzab wa tata’allam..?!”, bagaimana engkau akan menjadi seorang raja jika tidak beradab dan berilmu. Disini kata ‘tataadzdzab’ yang berarti beradab, disebut sebelum kalimat ‘tata’allam’ yang berarti berilmu. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan moral/adab merupakan pendidikan yang pertama dan utama.
Hal ini yang harus diperhatikan lebih serius oleh para praktisi pendidikan dan dikaji lebih lanjut oleh pemerintah untuk diterapkan pada system pendidikan Indonesia. Apa gunanya bila berilmu tapi tak beradab? Apa gunanya berintelektualitas tinggi namun bermental bobrok? Apa gunanya menjadi dokter hebat bila ilmunya disalah gunakan? Apa gunanya menjadi ekonom hebat namun malah menipu rakyat?. Bahkan seorang pengurus mushola yang tidak mampu belajar di perguruan tinggi tetapi mempunyai adab lebih mulia dari pada mereka yang menyalah gunakan ilmunya. Wallahu ‘alam []
Oleh : Ayyash Aqiel (Pendidikan Sejarah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar